Asy-Syaibani dalam kitabnya Falsafah At-Tarbiyah Al-Islamiyyah menyebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk merubah individu dan masyarakat agar memiliki pengetahuan, tingkah laku, jasmani, ruhani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan akhirat. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan amal sederhana, tapi amal besar dan mulia karena berkaitan dengan keselamatan di akhirat. Seorang guru harus memahami tujuan mulia ini sehingga guru tidak hanya mentransfer ilmu dan wawasan, tetapi ia mentransfer iman dan jiwanya serta memberikan teladan terbaik bagi anak didiknya. Kesadaran seorang guru terhadap tugas besar ini menuntut guru untuk memiliki niat yang ikhlas, ia mendidik untuk melanjutkan perjuangan Rasul yang mulia, bukan mengajar untuk mencari harta, tunjangan, pangkat, sertifikasi atau tujuan dunia lainnya. Guru ibarat sebuah wadah air, jika wadahnya kotor maka air sejernih apapun akan menjadi kotor, maka guru adalah tiang utama dalam pendidikan.
Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitabnya Ar-Rasul Al-Mu’allim meletakkan bahasan kepribadian Rasulullah sebelum membahas metode Rasul mendidik sahabat. Hal ini menunjukkan bahwa iman, akhlaq, dan ilmu seorang guru lebih utama dibandingkan dengan metode yang ia gunakan dalam sebuah pendidikan. Allah menyebutkan kepribadian Rasul dalam Al-Quran:
لَـقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُوۡلٌ مِّنۡ اَنۡفُسِكُمۡ عَزِيۡزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيۡصٌ عَلَيۡكُمۡ بِالۡمُؤۡمِنِيۡنَ رَءُوۡفٌ رَّحِيۡمٌ
“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128)
Imam As-Sa’di menyebutkan bahwa Allah mengutus kepada hamba-Nya Rasul yang ummiy dari golongan mereka, mereka mengetahui keadaannya, mereka memungkinkan untuk mengambil keteladanan darinya, mereka tidak merasa rendah diri untuk tunduk kepadanya, dia sangat mengasihi mereka dan berusaha mewujudkan kebaikan mereka.
Saat Rasul jalan kaki dari Mekkah ke Thaif bersama Zaid untuk menyebarkan Islam, Rasul bukan disambut dengan hangat oleh pemimpin dan masyarakat Thaif, Nabi justru mendapatkan lemparan batu yang membuat gigi beliau yang mulia mengalirkan darah, malaikat pun tak terima Nabi yang mulia dizhalimi hingga terluka, malaikat diizinkan oleh Allah untuk melemparkan dua gunung ke Thaif, namun Nabi yang mulia justru menolak dan berkata, “Aku berharap agar Allah mengeluarkan dari sulbi mereka generasi yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan Allah.”
MasyaAllah Allahu Akbar… Inilah saat Al-Quran hidup dalam jiwa seorang hamba. Peristiwa Thaif menolak Nabi pada tahun 10 kenabian, kemudian Thaif masuk Islam pada tahun 8 Hijriyah setelah Fathu Makkah. Inilah buah dari kepribadian Nabi sebagai guru dalam mendidik masyarakat Thaif dengan keteladanan. Para pakar pendidikan sepakat bahwa Rasulullah adalah guru terbaik, maka kita sebagai ummatnya selayaknya mengikuti jejaknya, agar kita bukan hanya mendapatkan kebenaran yang nyata, tapi mendapatkan keberkahan melimpah.
Wahai guru, perbaikilah kepribadianmu karena ia merupakan cerminan imanmu
Wahai guru, tetaplah optimis saat masalah menerjang hingga iman menipis
Wahai guru, pandangilah generasi bukan pada keadaan mereka hari ini, tapi 12 tahun kedepan
Guru, Kepribadianmu lebih utama daripada metode yang memukau namun kering dari ruhmu
Hamba Allah yang mengharap ampunan dan rahmat-Nya
Hamba Allah yang berusaha mengikuti jejak Rasul-Nya
Abu Ja’far Muhammad Ibnu Abdurrahman
Leave a Reply