Berbagi merupakan perbuatan mulia. Banyak anjuran bahkan keutamaan dalam berbagi dari satu insan kepada insan lain. Salah satunya sebagaimana sabda Nabi Muhammad Sholallohu ‘alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,” Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain”. Berbagi termasuk ke dalam memberikan manfaat kepada orang lain. Berbagi dalam rangka memberi manfaat pun tidak harus berupa materi namun juga dapat berupa non materi, seperti ilmu.
Ketika kita membagikan ilmu kepada orang lain, pada hakikatnya ilmu tersebut tidak akan berkurang melainkan akan senantiasa bertambah dan mengokohkan ilmu kita. Kita akan mendapatkan ilmu-ilmu baru pada saat membagikan ilmu tersebut seperti cara menyampaikan ilmu yang baik, pemilihan kata yang tepat, hingga mengaitkan ilmu satu dengan ilmu lain agar orang lain yang kita berikan ilmu dapat mengerti apa yang kita sampaikan.
Berbicara tentang menyampaikan ilmu, mengajari ilmu, ada hal yang perlu diperhatikan. Perbedaan karakter dan pemahaman dari calon penerima ilmu dengan ilmu yang akan kita sampaikan perlu menjadi pertimbangan. Tidak semua ilmu yang kita miliki itu harus diberikan kepada orang tersebut. Perlu ada tahapan-tahapan dalam menyampaikan agar calon penerima ilmu dapat menerima ilmu dengan baik. Sebagaimana tidaklah patut kita mengajari ilmu matematika tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), kita berikan kepada seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Jika penyampaian ini tidak mempertimbangkan karakter dan pemahaman penerima ilmu tersebut maka akan terjadi ketidakpahaman bahkan membuat penerima ilmu tersebut menjadi benci terhadap ilmu yang disampaikan. Oleh karenanya memilih kelompok tertentu untuk menyampaikan ilmu merupakan hal yang sangat penting.
Perihal dilarangnya menyampaikan suatu ilmu kepada semua orang (secara umum) ini, telah menjadi kebiasaan para sahabat dan para ulama setelah generasi para sahabat. Imam Bukhari menulis dalam kitab Al-‘ilm, Bab Man Khassha bi al-ilmi Qauman Duna Qaumin Karahiyata Alla Yafhamu (Bab Mengajarkan Ilmu Tertentu bagi Suatu Kelompok Tanpa yang Lain karena Khawatir Mereka Tidak Paham). Dari Ali rodhiyallohu’ahu “Berbicaralah kepada manusia dengan bahan pembicaraaan yang mereka tahu. Sukakah kalian jika Allah dan Rosul-Nya didustakan?” Adam in Ubay iyyas dalam Kitab al-‘ilm karyanya menambahkan,”…dan tinggalkan apa yang mereka ingkari.”Dinukil oleh ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bari 1: 225[1]
Maksud ucapan,”… dengan bahan pembicaraan yang mereka tahu,” ialah pembicaraan yang mereka bisa pahami. Sedangkan ucapan, ”…dan tinggalkan apa yang mereka ingkari,” adalah pembicaraan yang sulit mereka pahami. Sementara ucapan,..”jika Allah dan Rosul-Nya didustakan” maksudnya adalah jika seseorang mendengar sesuatu yang tidak bisa dipahaminya dan sulit dibayangkan, dia akan menyakini bahwa hal itu mustahil terjadi disebabkan kebodohan mereka. Maka, dia tidak akan mengakui adanya kebenaran itu. Jika dikatakan kepadanya bahwa berita ini bersumber dari nabi, pastilah dia akan mendustakannya, jika nabi didustakan, berarti Allah pun ikut didustakan.[2]
Hal ini menandakan bahwa setiap ilmu yang kita miliki saat ini tidaklah harus kita berikan saat itu juga. Butuh proses dan pertimbangan apakah ilmu tersebut sudah layak disampaikan kepada orang tersebut atau tidak. Hal ini dikhawatirkan sebagaimana ucapan Abdul Fattah Abu Ghuddah ketika seseorang mendapatkan ilmu atau informasi tentang sesuatu yang tidak bisa dipahaminya dan sulit dibayangkan, maka mereka akan menyakini bahwa hal itu mustahil terjadi disebabkan ketidakberilmuan mereka.
Membedakan karakter setiap penerima ilmu ini adalah landasan yang agung dalam mengajar. Yaitu, seorang guru haruslah memerhatikan kadar akal dan tingkat pemahaman orang si murid, sehingga bisa memberikan materi itu yang dapat diterima akalnya, dan menghindarkan materi itu darinya jika dirasa tidak sesuai. Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Umum ad-Din 1 : 57-68 menyatakan,” Di antara tugas seorang guru adalah membatasi (penyampaian materi) kepada murid sesuai kadar pemahamannya. Maka, hendaknya dia tidak menyampaikan materi di mana akal si murid belum mampu menerimanya, sehingga justru menyebabkan si murid menjauh atau membuat pikirannya kacau. Hal ini sebagaimana yang dilakukan junjungan seluruh umat manusia, Nabi Muhammad Sholallohu ‘alayhi wa sallam. Beliau sangat memerhatikan hal ini setiap kali mengajar, berbicara kepada orang, atau memberi nasihat. Jadi,seorang guru hendaklah menyebarkan suatu ilmu kepada murid jika dia yakin bahwa si murid mampu menerima ilmu itu.[3]
Oleh: Rudy Romansyah
[1] Abdul Fattah Abu Ghuddah, Ar-Rasul al-Mu’allim wa Asalibuhu fi at-Ta’lim, terj. Agus Khudlori (Temanggung: Armasta, 2015), hal. 110.
[2] Ibid.,hal. 110-111.
[3] Ibid., hal. 112.
Leave a Reply